Rabu, 25 September 2013

Alat Pertahanan Diri yang Diperbolehkan di Indonesia

Sepanjang penelusuran kami, tidak ada peraturan khusus yang mengatur mengenai senjata apa saja yang diperbolehkan sebagai alat pertahanan diri.
Melihat pada ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (1)Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951 tentang Mengubah "Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen" (STBL. 1948 No. 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948 (“UU Darurat 12/1951”), pada dasarnya seseorang tidak dapat memiliki senjata api, senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk (slag-, steek-, of stootwapen).
Pasal 1 UU Darurat 12/1951:
“Barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun.”
Pasal 2 ayat (1) UU Darurat 12/1951:
“Barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperolehnya, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk (slag-, steek-, of stootwapen), dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.”
Akan tetapi sebagaimana disebutkan dalam rumusan pasal-pasal di atas, hal yang dilarang tersebut dapat dilakukan jika orang tersebut memiliki hak untuk melakukan kepemilkan senjata api, senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk (slag-, steek-, of stootwapen).
Jika dilihat lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (2) UU Darurat 12/1951, pengaturan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Darurat 12/1951 dikecualikan bagi yang mempergunakan senjata tersebut (senjata pemukul, senjata penikam atau senjata penusuk) guna pekerjaan pertanian, pekerjaan rumah tangga, atau untuk melakukan pekerjaan lain atau jika senjata tersebut adalah barang pusaka.
Pasal 2 ayat (2) UU Darurat 12/1951:
“Dalam pengertian senjata pemukul, senjata penikam atau senjata penusuk dalam pasal ini, tidak termasuk barang-barang yang nyata-nyata dimaksudkan untuk dipergunakan guna pertanian, atau untuk pekerjaan-pekerjaan rumah tangga atau untuk kepentingan melakukan dengan syah pekerjaan atau yang nyata-nyata mempunyai tujuan sebagai barang pusaka atau barang kuno atau barang ajaib (merkwaardigheid).”
Selain itu, dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 2012 tentang Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Untuk Kepentingan Olahraga (“Perkapolri 8/2012”), juga diatur mengenai senjata yang dapat digunakan untuk kepentingan olahraga. Dalam Pasal 4 ayat (1) Perkapolri 8/2012 disebutkan jenis-jenis senjata api olahraga, yaitu:
a.    senjata api;
b.    pistol angin (air Pistol) dan senapan angin (air Rifle); dan
c.    airsoft gun.
Senjata api tersebut digunakan untuk kepentingan olahraga (Pasal 4 ayat [2] Perkapolri 8/2012):
a. menembak sasaran atau target;
b. menembak reaksi; dan
c. berburu.
Mengenai perizinan alat pertahanan diri, tidak ada pengaturan khusus mengenai hal tersebut. Akan tetapi ada pengaturan mengenai perizinan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam.
Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) huruf e Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam.
Mengenai perizinan dan pendaftaran ini juga diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 1948 tentang Mencabut Peraturan Dewan Pertahanan Negara Nomor 14 Dan Menetapkan Peraturan Tentang Pendaftaran Dan Pemberian Idzin Pemakaian Senjata Api (“UU 8/1948”), senjata api yang berada di tangan orang bukan anggota Tentara atau Polisi harus didaftarkan oleh Kepala Kepolisian Karesidenan (atau Kepala Kepolisian Daerah Istimewa selanjutnya disebut Kepala Kepolisian Karesidenan saja) atau orang yang ditunjukkannya.
Lebih lanjut, dikatakan dalam Pasal 9 UU 8/1948, setiap orang bukan anggota Tentara atau Polisi yang mempunyai dan memakai senjata api harus mempunyai surat izin pemakaian senjata api menurut contoh yang ditetapkan oleh Kepala Kepolisian Negara. Untuk tiap senjata api harus diberikan sehelai surat izin. Dalam hal ini yang berhak memberi surat izin pemakaian senjata api ialah Kepala Kepolisian Karesidenan atau orang yang ditunjukkannya.
Selain pengaturan tersebut, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia No. 7 Tahun 2010 tentang Pedoman Perizinan, Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Standar Militer Di Luar Lingkungan Kementerian Pertahanan Dan Tentara Nasional Indonesia (“Permenhan 7/2010”), untuk ekspor, impor pembelian, penjualan, produksi, pemilikan, penggunaan, penguasaan, pemuatan, pembongkaran, pengangkutan, penghibahan, peminjaman, pemusnahan senjata api standar militer dan amunisinya diperlukan izin Menteri.
Izin tersebut dapat diberikan dengan pembatasan-pembatasan tertentu sesuai tugas pokok dan fungsi kepada (Pasal 7 ayat [4] Permenhan 7/2010):
a.         instansi pemerintah non Kemhan dan TNI;
b.         badan hukum nasional Indonesia tertentu;
c.         perorangan;
d.         kapal laut Indonesia; dan
e.         pesawat udara Indonesia.
Berdasarkan Pasal 10 Permenhan 7/2010, perorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf c yaitu:
a.         pejabat pemerintah tertentu;
b.         atlet menembak; dan
c.         kolektor.
Mengenai kepemilikan senjata api untuk sipil ini, Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti, dalam artikel yang berjudul Imparsial: Hentikan Izin Senjata Api untuk Bela Diri, berpendapat bahwapenggunaan senjata api untuk kepentingan warga sipil seharusnya hanya diperbolehkan untuk olahraga saja. Poengky Indarti juga berpendapat bahwasenjata api untuk olahraga ini tak boleh dikuasai oleh si atlet. Senjata tersebut harus disimpan kembali dalam gudang persenjataan yang dikontrol oleh pemerintah.
Untuk melihat bagan perizinan senjata api, Anda dapat melihat pada laman Polres Purbalingga berikut ini: http://polrespurbalingga.com/wp-content/uploads/2012/12/Pemilikan-senjata-API.pdf
Jadi, pada dasarnya tidak ada pengaturan khusus mengenai senjata apa yang boleh digunakan untuk melindungi diri. Yang terdapat pengaturannya adalah mengenai senjata api dan senjata api untuk kepentingan olahraga.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
1.    Undang-Undang No. 8 Tahun 1948 tentang Mencabut Peraturan Dewan Pertahanan Negara Nomor 14 dan Menetapkan Peraturan tentang Pendaftaran dan Pemberian Idzin Pemakaian Senjata Api;
4.    Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia No. 7 Tahun 2010 tentang Pedoman Perizinan, Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Standar Militer Di Luar Lingkungan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia;
5.    Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 2012 tentang Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Untuk Kepentingan Olahraga.

dikutip dari Hukumonline.com oleh Letezia Tobing. diakses pada tanggal 26 September 2013

Perbuatan-perbuatan yang termasuk Pencemaran Nama Baik

R Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal 225) dalam penjelasan Pasal 310 KUHP, menerangkan bahwa, “menghina” adalah “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”. Yang diserang ini biasanya merasa “malu” “Kehormatan” yang diserang di sini hanya mengenai kehormatan tentang “nama baik”, bukan “kehormatan” dalam lapangan seksuil, kehormatan yang dapat dicemarkan karena tersinggung anggota kemaluannya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.
Pada prinsipnya, mengenai pencemaran nama baik diatur dalam KUHP, Bab XVI tentang Penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 s.d 342 KUHP.Melihat pada penjelasan R. Soesilo dalam Pasal 310 KUHP, dapat kita lihat bahwa KUHP membagi enam macam penghinaan, yakni:
1.    Penistaan (Pasal 310 ayat (1) KUHP)
Menurut R. Soesilo, supaya dapat dihukum menurut pasal ini, maka penghinaan itu harus dilakukan dengan cara “menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu” dengan maksud agar tuduhan itu tersiar (diketahui oleh orang banyak). Perbuatan yang dituduhkan itu tidak perlu suatu perbuatan yang boleh dihukum seperti mencuri, menggelapkan, berzina dan sebagainya, cukup dengan perbuatan biasa, sudah tentu suatu perbuatan yang memalukan.
2.    Penistaan dengan surat (Pasal 310 ayat (2) KUHP)
Menurut R. Soesilo sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 310 KUHP, apabila tuduhan tersebut dilakukan dengan tulisan (surat) atau gambar, maka kejahatan itu dinamakan “menista dengan surat”. Jadi seseorang dapat dituntut menurut pasal ini jika tuduhan atau kata-kata hinaan dilakukan dengan surat atau gambar.
3.    Fitnah (Pasal 311 KUHP)
Merujuk pada penjelasan R. Soesilo dalam Pasal 310 KUHP, sebagaimana kami sarikan, perbuatan dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP tidak masuk menista atau menista dengan tulisan (tidak dapat dihukum), apabila tuduhan itu dilakukan untuk membela kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri. Dalam hal ini hakim barulah akan mengadakan pemeriksaan apakah betul-betul penghinaan itu telah dilakukan oleh terdakwa karena terdorong membela kepentingan umum atau membela diri, jikalau terdakwa meminta untuk diperiksa (Pasal 312 KUHP).
Apabila soal pembelaan itu tidak dapat dianggap oleh hakim, sedangkandalam pemeriksaan itu ternyata, bahwa apa yang dituduhkan oleh terdakwa itu tidak benar, maka terdakwa tidak disalahkan menista lagi, akan tetapi dikenakan Pasal 311 KUHP (memfitnah).
Jadi, yang dimaksud dengan memfitnah dalam pasal ini adalah kejahatan menista atau menista dengan tulisan dalam hal ketika ia diizinkan untuk membuktikan bahwa tuduhannya itu untuk membela kepentingan umum atau membela diri, ia tidak dapat membuktikannya dan tuduhannya itu tidak benar.
4.    Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP)
Penghinaan seperti ini dilakukan di tempat umum yang berupa kata-kata makian yang sifatnya menghina. R Soesilo, dalam penjelasan Pasal 315 KUHP, sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa jika penghinaan itu dilakukan dengan jalan lain selain “menuduh suatu perbuatan”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “asu”, “sundel”, “bajingan” dan sebagainya, masuk Pasal 315 KUHP dan dinamakan “penghinaan ringan”.
Penghinaan ringan ini juga dapat dilakukan dengan perbuatan. Menurut R. Soesilo, penghinaan yang dilakukan dengan perbuatan seperti meludahi di mukanya, memegang kepala orang Indonesia, mendorong melepas peci atau ikat kepala orang Indonesia. Demikian pula suatu sodokan, dorongan, tempelengan, dorongan yang sebenarnya merupakan penganiayaan, tetapi bila dilakukan tidak seberapa keras, dapat menimbulkan pula penghinaan.
5.    Pengaduan palsu atau pengaduan fitnah (Pasal 317 KUHP)
R. Sugandhi, S.H. dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya (hal. 337) memberikan uraian pasal tersebut, yakni diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang dengan sengaja:
a.    memasukkan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang kepada pembesar negeri;
b.    menyuruh menuliskan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang kepada pembesar negeri
sehingga kehormatan atau nama baik orang itu terserang.
6.    Perbuatan fitnah (Pasal 318 KUHP)
Menurut R. Sugandhi, S.H., terkait Pasal 318 KUHP, sebagaimana kami sarikan, yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan orang lain secara tidak benar terlibat dalam suatu tindak pidana, misalnya: dengan diam-diam menaruhkan sesuatu barang asal dari kejahatan di dalam rumah orang lain, dengan maksud agar orang itu dituduh melakukan kejahatan.
Terkait pertanyaan Anda selanjutnya, kami berasumsi bahwa perbuatan Anda tidak termasuk ke dalam kategori penghinaan di atas, tetapi ada pihak yang menuntut Anda melakukan penghinaan/pencemaran nama baik. Dalam hal demikian, orang tersebut dapat Anda tuntut jika orang tersebut mengetahui benar-benar bahwa apa yang dia adukan tersebut tidak benar.
Jika yang ia lakukan adalah untuk membuat nama Anda tercemar, maka orang tersebut dapat dipidana berdasarkan Pasal 317 KUHP:
(1) Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 3 dapat dijatuhkan.
Akan tetapi jika maksud dari pengaduan orang tersebut bukan untuk membuat nama Anda tercemar (tetapi orang tersebut tahu bahwa yang ia adukan adalah tidak benar), maka orang tersebut dapat dipidana berdasarkan Pasal 220 KUHP:
“Barang siapa memberitahukan atau mengadukan bahwa telah dilakukan suatu perbuatan pidana, padahal mengetahui bahwa itu tidak dilakukan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.”
Selain itu, Anda juga dapat simak penjelasan kami dalam artikel-artikel berikut:
Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Referensi:
1.    R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.
2.    R. Sugandhi, SH. 1980. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya. Usaha Nasional: Surabaya.

dikutip dari Hukumonline.com diakses pada tanggal 26 September 2013

Pajak Orang Kaya Sebaiknya Dinaikkan

Penerimaan negara yang berasal dari pajak selalu mengalami peningkatan tiap tahunnya. Sayangnya, penerimaan pajak yang naik selalu diikuti dengan pengeluaran negara yang juga meningkat tiap tahunnya. Faktanya, APBN selalu mengalami defisit. Bahkan, penerimaan pajak kerap tidak mencapai target yang telah disepakati dalam APBN.
Diungkapkan oleh Tenaga Pengkaji Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Samon Jaya, tidak optimalnya penerimaan pajak disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa diantaranya adalah kelemahan atuan pajak, kendala sumber daya dan penetapan fasilitas dan insentif pajak yang tidak tepat. Yang paling dominan, banyak warga negara yang tidak mendaftar ke kantor pajak, tidak membayar, tidak melapor, tidak melaporkan semua penghasilan dan kurang bayar.
“Paling besar itu berada pada warga negara yang tidak mendaftarkan ke kantor pajak, tidak membayar, tidak melapor, tidak melaporkan semua penghasilan dan kurang bayar,” kata Samon Jaya.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) Berly Martawardaya menilai banyak sektor potensial penerimaan pajak yang tidak dioptimalkan. Salah satunya adalah menarik pajak bagi miliarder.
Berly pun mengusulkan agar Indonesia menerapkan pajak miliarder. Sejauh ini, besaran pajak yang dibebankan kepada orang kaya maksimal 35 persen. “Kenapa tidak menetapkan rate pajak 40 persen untuk bracket(jumlah—red)pendapatan diatas Rp5 miliar?,” kata Berly.
Ia mencontohkan negara-negara Skandanavia dan Swedia yang telah menerapkan model tersebut. Di sana diterapkan ratepajak 50 persen atas orang kaya. Di Indonesia rate tertinggi saat ini masih berada pada angka 35 persen. Berly juga menyarankan agar pemerintah mengembalikan capital gain tax atau pajak perdagangan saham di pasar bursa saham dikembalkan ke PPh. Tujuannya agar pengenaan pajak dapa disamakan dengan pajak pada pendapatan umum.
Untuk diketahui, saat ini, capital gain tax atau setiap transaksi di pasar modal hanya dikenakan pajak dengan rate 0.01 persen. Pemberian rate 0,01 persen kepada pemain saham dimaksudkan untuk meningkatkan minat masyarakat ke pasar modal. Sayangnya, maksud pembuat kebijakan ituhingga saat ini belum tercapai. Jumlah capital di pasar modal tidak naik signifikan dengan aturan tersebut. "Rata- rata yang bermain di pasar modal itu orang berduit," jelas Berly.
Selain itu, diharapkan pemerinah harus mewajibkan pemilikan NPWP bagi semua pekerja, lulusan perguruan tinggi serta saat pengurusan paspor. Kewajiban kepemilikan NPWP terhadap tiga hal tersebut sudah dilakukan oleh negara-negara maju seperti Eropa, sehingga semua penduduk memiliki NPWP.
Anggota Komisi XI Arif Budimanta pada dasarnya menilai usulan kenaikan pajak bagi orang kaya di Indonesia wajib untuk dipertimbangkan. Namun ia mengingatkan, peningkatan tarif harus diikuti dengan insentif terhadap perubahan kebijakan pembangunan yang lebih memberikan manfaat. Kebijakan pajak dalam konteks penerimaan harus diikuti dengan kualitas pengeluaran atau belanja yang baik.
“Harus dilihat secara keseluuhan berapa banyak miliarder di indonesia. Selain itu, selama gap antara kualitas pengeluaran tidak seimbang dengan penerimaan, masyarakat akan tetap mencari celah untuk tidak bayar pajak,” kata politisi PDI Perjuangan ini.
Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Azissepakat atas usulan tersebut. Tetapi, kata dia, harus diikuti dengan revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. “Setuju tapi harus ada revisi undang-undangnya karena sejauh ini maksimal 35 persen,” jelas Harry.
Sementara terkait wacana revisi UU KUP, Harry mengatakan sejauh ini belum ada masukan dari pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Serta, juga tidak dimungkinkan untuk merevisi UU KUP atas dasar inisiatif DPR.“Sekarang saja masih banyak RUU yang belum selesai, jadi tidak bisa dalam waktu dekat,” ungkapnya.

Terakit wacana ini, Samon Jaya tidak terlalu banyak menanggapi hal tersebut. Ia hanya menegaskan pihaknya siap menjalankan semua keputusan yang disepakati oleh DPR dan Kemenkeu. “DJP hanya menjalankan saja. Jadi,apapun kebijakannya nanti akan kami jalankan,” pungkasnya.

dikutip dari Hukumonline.com diakses pada tanggal 26 September 2013