Penerimaan negara yang berasal
dari pajak selalu mengalami peningkatan tiap tahunnya. Sayangnya, penerimaan
pajak yang naik selalu diikuti dengan pengeluaran negara yang juga meningkat
tiap tahunnya. Faktanya, APBN selalu mengalami defisit. Bahkan, penerimaan
pajak kerap tidak mencapai target yang telah disepakati dalam APBN.
Diungkapkan oleh Tenaga Pengkaji
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Samon Jaya, tidak optimalnya penerimaan pajak
disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa diantaranya adalah kelemahan atuan
pajak, kendala sumber daya dan penetapan fasilitas dan insentif pajak yang tidak
tepat. Yang paling dominan, banyak warga negara yang tidak mendaftar ke kantor
pajak, tidak membayar, tidak melapor, tidak melaporkan semua penghasilan dan
kurang bayar.
“Paling besar itu berada pada
warga negara yang tidak mendaftarkan ke kantor pajak, tidak membayar, tidak
melapor, tidak melaporkan semua penghasilan dan kurang bayar,” kata Samon Jaya.
Dosen Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia (FEUI) Berly Martawardaya menilai banyak sektor potensial
penerimaan pajak yang tidak dioptimalkan. Salah satunya adalah menarik pajak
bagi miliarder.
Berly pun mengusulkan agar
Indonesia menerapkan pajak miliarder. Sejauh ini, besaran pajak yang dibebankan
kepada orang kaya maksimal 35 persen. “Kenapa tidak menetapkan rate pajak
40 persen untuk bracket(jumlah—red)pendapatan diatas Rp5 miliar?,”
kata Berly.
Ia mencontohkan negara-negara
Skandanavia dan Swedia yang telah menerapkan model tersebut. Di sana diterapkan ratepajak
50 persen atas orang kaya. Di Indonesia rate tertinggi saat
ini masih berada pada angka 35 persen. Berly juga menyarankan agar pemerintah
mengembalikan capital gain tax atau pajak perdagangan saham di
pasar bursa saham dikembalkan ke PPh. Tujuannya agar pengenaan pajak dapa
disamakan dengan pajak pada pendapatan umum.
Untuk diketahui, saat ini, capital
gain tax atau setiap transaksi di pasar modal hanya dikenakan pajak
dengan rate 0.01 persen. Pemberian rate 0,01 persen kepada
pemain saham dimaksudkan untuk meningkatkan minat masyarakat ke pasar modal.
Sayangnya, maksud pembuat kebijakan ituhingga saat ini belum tercapai. Jumlah capital di
pasar modal tidak naik signifikan dengan aturan tersebut. "Rata- rata yang
bermain di pasar modal itu orang berduit," jelas Berly.
Selain itu, diharapkan pemerinah
harus mewajibkan pemilikan NPWP bagi semua pekerja, lulusan perguruan tinggi
serta saat pengurusan paspor. Kewajiban kepemilikan NPWP terhadap tiga hal
tersebut sudah dilakukan oleh negara-negara maju seperti Eropa, sehingga semua
penduduk memiliki NPWP.
Anggota Komisi XI Arif Budimanta
pada dasarnya menilai usulan kenaikan pajak bagi orang kaya di Indonesia wajib
untuk dipertimbangkan. Namun ia mengingatkan, peningkatan tarif harus diikuti
dengan insentif terhadap perubahan kebijakan pembangunan yang lebih memberikan
manfaat. Kebijakan pajak dalam konteks penerimaan harus diikuti dengan kualitas
pengeluaran atau belanja yang baik.
“Harus dilihat secara keseluuhan
berapa banyak miliarder di indonesia. Selain itu, selama gap antara kualitas
pengeluaran tidak seimbang dengan penerimaan, masyarakat akan tetap mencari
celah untuk tidak bayar pajak,” kata politisi PDI Perjuangan ini.
Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar
Azissepakat atas usulan tersebut. Tetapi, kata dia, harus diikuti dengan revisi
UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. “Setuju tapi harus ada revisi
undang-undangnya karena sejauh ini maksimal 35 persen,” jelas Harry.
Sementara terkait wacana revisi
UU KUP, Harry mengatakan sejauh ini belum ada masukan dari pemerintah dalam hal
ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Serta, juga tidak dimungkinkan untuk
merevisi UU KUP atas dasar inisiatif DPR.“Sekarang saja masih banyak RUU yang
belum selesai, jadi tidak bisa dalam waktu dekat,” ungkapnya.
Terakit wacana ini, Samon Jaya
tidak terlalu banyak menanggapi hal tersebut. Ia hanya menegaskan pihaknya siap
menjalankan semua keputusan yang disepakati oleh DPR dan Kemenkeu. “DJP hanya
menjalankan saja. Jadi,apapun kebijakannya nanti akan kami jalankan,”
pungkasnya.
dikutip dari Hukumonline.com diakses pada tanggal 26 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar